Terasbojonegoro.com | Membicarakan Pancasila sepertinya tidak akan pernah habis. Banyak narasi yang bermunculan terkait dengan relevansi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditengah perubahan dan perkembangan zaman saat ini yang memberikan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia khususnya generasi milenial Indonesia untuk mencapai kejayaan Indonesia di tahun 2045 karena pada tahun tersebut Indonesia mengalami bonus demografi. Narasi yang bermunculan membuat kita harus berkontemplasi apakah selama ini pengamalan Pancasila yang kita lakukan sudah sesuai atau jangan-jangan ada tafsir yang salah dari kita mengenai Pancasila sehingga makna Pancasila menjadi terdegradasi dan terlihat usang.
Perdebatan mengenai Pancasila
Hal yang menarik dari Pancasila dibandingkan dengan ideologi yang lain adalah ia lahir dari sebuah perdebatan yang sengit. Berbeda dengan ideologi Marxisme, Liberalisme, maupun Nasionalisme yang merupakan hasil dari gagasan seseorang, Pancasila merupakan suatu jalan tengah atas perdebatan pemikiran yang terjadi pada saat itu. Walaupun istilah Pancasila lahir dari Soekarno, namun isi Pancasila yang saat ini dijadikan sebagai dasar negara bukan merupakan Pancasila versi Soekarno yang dibacakan di depan Sidang BPUPK pada tahun 1 Juni 1945. Pancasila yang kita jadikan dasar negara saat ini adalah Pancasila versi 18 Agustus 1945. Oleh sebab itu, tidak salah apabila Pancasila disebut sebagai Tamansari Pemikiran karena Pancasila dibangun atas berbagai macam pemikiran yang ada pada saat itu.
Secara garis besar, perdebatan mengenai Pancasila diwarnai dengan dua arus pendapat besar pada saat itu yaitu arus nasionalis sekuler yang tokohnya terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Subarjo, dan Muhammad Yamin dan arus nasionalis islam yang tokohnya yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Perdebatan tersebut pertama kali terjadi di sidang BPUPK yang kemudian setelah kemerdekaan perdebatan tersebut berlanjut ke sidang Konstituante. Di sidang Konstituante arus nasionalis sekuler dimotori oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan arus nasionalis islam dimotori oleh Partai Masyumi. Perdebatan dimulai pada tanggal 10 November 1956 dan berhenti pada tanggal 5 Juli 1959 melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno.
Pancasila di era Orde Baru
Setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Soeharto, Soeharto dalam memimpin Indonesia mengedepankan stabilitas politik. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Soeharto adalah menafsirkan secara tunggal Pancasila. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanamkan Pancasila ke masyarakat Indonesia oleh rezim orde baru adalah dengan cara indoktrinasi melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Hal ini menyebabkan ruang perdebatan dan dialektika mengenai tafsir atas Pancasila tertutup sehingga penafsiran yang tepat mengenai Pancasila adalah tafsir versi pemerintah orde baru saat itu.
Tidak adanya dialektika menyebabkan Pancasila sering disalah gunakan oleh pemerintah orde baru. Pancasila digunakan sebagai “senjata ideologis” untuk mengeksklusikan kelompok yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah. Cap anti-pancasilais diberikan kepada sekelompok orang yang memilih untuk tidak tunduk kepada pemerintah. Tidak tunduk pada pemerintah sama dengan tidak mencintai negara.
Pancasila saat ini
Setelah Presiden Soeharto tumbang, Indonesia masuk ke zaman reformasi yang lebih menghargai perbedaan dan kebebasan. Pemerintah tidak lagi membuat kebijakan indoktrinasi Pancasila yang berlebihan. Masyarakat diberikan kebebasan untuk menafsirkan Pancasila. Tidak ada lagi cap-cap yang diberikan oleh pemerintah kepada kelompok masyarakat. Pancasila bersemai lagi dan tak ada lagi kekhawatiran bahwa Pancasila akan ditinggalkan. Namun, upaya untuk mensosialisasikan Pancasila tidak pernah surut. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mensosialisasikan Pancasila adalah dengan mengkampanyekan empat pilar yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR melakukan kegiatan keliling Indonesia untuk mengkampanyekan empat pilar walaupun di kemudian hari istilah empat pilar ini di judicial review oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan tidak sesuai aspek yuridis konstitusionalnya. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pancasila secara yuridis konstitusional tidak terpisah dari UUD 1945. Pancasila merupakan bagian yang integral yang termaktub dalan Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 sendiri secara yuridis konstitusional merupakan norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) yang kedudukannya paling tinggi dalam suatu hierarki norma hukum menurut Hans Nawiasky.
Indoktrinasi Pancasila atau Dialektika Pancasila
Apabila dianalogikan, Pancasila ini seperti gelas kosong yang isinya tergantung narasi apa yang dominan pada waktu itu. Di era Orde Lama, Pancasila diartikan sebagai nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) yang merupakan manifesto politik Soekarno untuk mengkonsolidasikan tiga kekuatan politik besar pada waktu itu. Di era Orde Baru, Pancasila diartikan sebagai P4. P4 merupakan metode indokrinasi yang dilakukann di era Orde Baru yang bertujuan agar masyarakat dalam kesehariannya tidak menyimpang dari Pancasila. Namun, pada praktiknya Pancasila dijadikan “senjata ideologis” untuk mengeksklusikan kelompok tertentu. Saat ini, Pancasila pernah dikampanyekan dalam bentuk sosialisasi empat pilar. Bahkan, di bawah Presiden Jokowi dibentuk lembaga khusus yang menangani Pancasila yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Padahal, pada awal pembentukannya Pancasila merupakan hasil perdebatan tajam para pendiri negara pada waktu itu. Pancasila merupakan ideologi terbuka yang di dalamnya hidup berbagai macam pemikiran atau tamansari pemikiran dunia.
Menurut penulis, agar Pancasila masih tetap relevan sebagai ideologi terbuka dan tamansari pemikiran dunia maka upaya yang harus dilakukan adalah mendialektikakan Pancasila bukan indoktrinasi Pancasila. Dialektika merupakan suatu metode yang pertama kali diperkenalkan oleh Hegel di alam pemikiran eropa pada waktu itu yang kemudian digunakan oleh filsuf setelahnya termasuk Marx dalam menganalisis fenomena sosial. Secara mudah, dialektika merupakan suatu benturan ide antara ide utama (tesis) dengan ide yang bertolak belakang (anti-tesis). Benturan antara tesis dengan anti-tesis akan menghasilkan sintesis yang merupakan ide baru kemudian ide baru ini akan menjadi tesis dan akan dilawan lagi dengan anti-tesis dan membentuk sintesis begitu seterusnya. Dalam hal ini, menurut penulis agar Pancasila tetap dianggap relevan maka Pancasila harus diuji dulu dengan pemikiran lain. Dari “pengujian” tersebut akan timbul sikap kritis masyarakat dan masyarakat sendiri yang akan menilai apakah Pancasila masih relevan atau tidak. Masyarakat juga akan menilai apakah selama ini Pancasila sudah diterapkan dengan konsekuen melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemangku kebijakan atau tidak. Menuru penulis, meningkatkan sikap kritis masyarakat merupakan upaya yang konkrit agar Pancasila tidak dikooptasi secara tunggal oleh penguasa. Masyarakat bisa mendefinisikan sendiri apa itu Pancasila tanpa perlu didoktrinasi oleh penguasa. Masyarakat jangan sampai terninabobokan oleh jargon Pancasila tanpa mengetahui esensi dari Pancasila itu sendiri.
Oleh : Catur Alfath Satriya